Perjalanan hari masih panjang. Aku sendiri masih lelah, berkaca di depan meja riasku. Dan dengan antusiasnya, Lucy anakku, menjarang rambut panjangku yang masih basah dengan hair dryer. Menyisirnya dengan lembut setelah mengoleskan pelembab terlebih dahulu. Terakhir dan tak pernah luput adalah adalah jepitan. Ya, jepitan yang justru lebih sering membuatku menjadi bulan-bulanan kawan-kawanku di tempat KERJA. Tapi aku tak mungkin akan mengelak dari jepitan yang anakku membuatnya sendiri, bukan?
Ah, urusan rambut ternyata sudah selesai. Lucy sudah mulai mengusap bedak tipis-tipis dimukaku, disusul kemudian dengan sentuhan blush on. Masakara yang semakin membuat lentik bulu mataku, dan akhirnya sampailah pada bibir merah basahku. Ia memoleskan warna pink natural lipstick tahan air, hadiah dari BOSS, itu pelan. Hati-hati sekali ia melakukan itu.
“Bunda, pakai lipstiknya sedikit-sedikit saja yah.. Ini kan mahal…bagus banget lagi..cocok sekali dengan bibir Bunda..”
Aku hanya tersenyum. Hanya itulah yang bisa aku lakukan jika ia mengungkit soal lipstick mahal itu. Ya, terpaksa aku memberi tahunya berapa harga lipstick itu. Dan yang kukatakan adalah bahwa lipstick itu seharga dengan beras sepuluh kilo yang bisa buat kami makan berdua seminggu. Bukanlah tujuanku menegaskan berapa mahalnya. Tapi adalah ketika aku harus jujur kepadanya saat pertama kali didapatinya lipstick yang masih bersegel di meja rias itu. Dan yang penting dari itu adalah aku tak membelinya, melainkan dibelikan.
Duh gusti(jika masih hamba diizinkan menyebut-Mu), kenapa harus gadis Sembilan tahunku itu mengerti lebih dini tentang semua ini,..
Mendesis dalam kepiluanku ini tak kubiarkan Lucy tahu. Ya takkan kubiarkan ia tahu lebih banyak lagi. Karena bagian ini hanya menjadi milikku. Milikku.
Lucy beranjak. Hanya kuperhatikan saja. Takkan mau ia aku membantunya.
“Bunda, Lucy telah terbiasa melakukannya. Bunda ingat, kan?”
Begitulah kata-katanya mencegahku memperlakukannya istimewa. Tak mau ia diperlakukan selayaknya orang cacat lainnya. Ya Lucy, buah pernikahanku dengan Mahendra menderita cacat fisik. Ia harus dibantu dengan tongkat penyangga untuk berjalan, berdiri karena kaki kanannya lebih kecil sebanding lima puluh persen dari kaki kanannya.
Tapi ia adalah gadis yang luar biasa kuat, tangguh dan percaya diri. Dia adalah tembok tempatku bersandar saat suamiku meninggal karena kecelakaan. Bahkan dia lebih kuat dariku saat teman-temannya menggunjingnya karena ia tak sekolah di tempat yang sama dengan mereka.
Ah, aku tersadar dari lamunku saat Lucy mendekati dengan terusan gaun berwarna biru laut. Satu lagi, itu adalah hadiah. Kembali aku hanya tersenyum saat ia mulai mengenakan baju itu pada tubuhku. Lantas selesai dengan gaun, ia menuju sudut yang lain dalam ruangan berukuran 4×4 meter ini. Ya pada kardus bekas mie instan itu, ia menempatkan sepatu-sepatuku. Pilihannya kepada hak setinggi 10cm berwarna biru tua. Dan ia memakaikannya pada kakiku.
“Nah, sekarang Bunda siap…” katanya sumringah. “Bunda cantik sekali..” katanya memuji.
Duh gusti, haruskah hamba terus mengulum senyum ini kepadanya? Lantas sampai kapan?
**
Mengerik pada kengiluan yang aku bersumpah tak akan membiarkan Lucy tahu lebih banyak lagi, aku merantai langkah menuruni anak tangga besi berkarat. Semburat jingga pada tepian barat itu terlampau menyilaukan mataku. Sementara hembus angin sore justru menyesakkan dadaku.
Ring! Ring! Ring!
Kubuka tas tanganku. Sekotak benda mungil itu ku jumput. Tertera pemberitahuan sebuah pesan disana: TERIOS HITAM- B 126 H
Itulah pesan yang kudapat. Melintasi beberapa orang berlalu lalang, dan tak kuindahkan tatapan mereka, kuhampiri benda bergerak yang dimaksud dalam pesan itu.
Pintu terbuka, dan kunaikkan kakiku masuk ke dalamnya. Mau tak mau, aku harus tersenyum. Dia yang kudapat malam ini. Mobil meluncur dalam kecepatan sedang, menuju daerah puncak. Dia, klienku, memutar satu lagu romantis. Sebuah lantunan bahasa indah yang telah lama aku tinggalkan. Aku tinggalkan bersama dengan kematian suamiku. Wangi segar dari pewangi, malah menambah sesak ruang dadaku.
Di sebuah pelataran motel yang tak terlalu mewah, mobil memasukinya. Dia, klienku, turun lebih dulu. Membukakan pintu untukku. Merogoh pada kantong celananya, ia menyodorkan secarik kertas. Oh ternyata bukan dia… Ternyata: 325 A
Aku mengangguk, menerima kertas itu. Lantas kuayunkan langkah kaki masuk ke dalam. Tersenyum membalas penerima tamu. Menyakan letak kamar nomor yang dimaksud. Dan kudapati jawaban bahwa nomor dengan kamar itu ada di lantai tiga.
Kudaki tangga dengan perasaan hampa. Kuteliti satu persatu nomor pada pintu masing-masing kamar. Hanya berjarak dua kamar dari ujung lorong.
Mengayunkan tangan mengetuk dua kali. Dan pintu terkuak. Seorang bule dengan tinggi sekitar 6 kaki, berpembawaan kalem dengan cukuran kumis dan jambang yang rapi, tersenyum mempersilahkan aku masuk. Membalas senyumnya, kuikuti dia dari belakang.
Dan apakah harus aku terkejut saat kudapati seorang laki-laki yang lain di sana? Seorang laki-laki pribumi dengan pembawaan tak jauh beda dengan laki-laki bule itu. Kulit bersih dan sopan.
Hhh, ini pekerjaanku… tanpa banyak kata atau yang lain, bekerja tetaplah bekerja. Tapi… apakah harus aku melakukan dan melihat itu juga? Mereka… ah… kumohon jangan dihadapanku…
Harusnya aku tak terkejut. Tapi rupanya aku masih memiliki rasa itu. Ah, haruskah aku bersyukur. Dan bayangan Lucy anakku membayang. Seiring dengan suara gaduh pintu yang digedor dengan kekuatan penuh.
Ah, kutarik apa pun yang bisa kubuat menutupi tubuhku. Sementara mereka? Apa peduliku dengan rasa malu mereka? Dan belum sempat mereka membalut tubuh mereka dengan apa pula yang bisa mereka temukan, pintu menjeblak terbuka. Satu, dua, dan beberapa orang berseragam yang lain masuk serentak. Dengan suara-suara lantang mereka menghujat. Dan ah… yang terpikirkan saat itu menjadi kekuatanku adalah Lucy..
Dan Lucy menarikku membawaku berlari. Tapi siapalah aku dengan tenaga malam yang hampir punah saat ini melawan tenaga para petugas berseragam gagah itu?
Dengan sigap, tanpa usaha lebih banyak lagi, mereka menangkapku. Menelikung tubuhku hanya dengan satu tangan. Tapi Lucy-ku berteriak untuk aku melawan. Dan aku melakukannya sabaik, semampu aku sanggup. Kulawan mereka, terlebih saat satu diantara mereka meremas dada dan pantatku. Aku memang menjualnya, tapi tidak untuk cara pengecut seperti ini.
Kucakar dia, kutendang, kumaki. Dan mereka pun melakukan yang sama. Terakhir yang kuingat adalah sebuah pentungan karet yang melepas pada pelipisku. Sebelum aku berteriak, memohon kepada mereka untuk tidak membawaku. Menghiba ku berteriak… biarkan aku mencintai anakku, sekalipun beginilah caranya…
Dan… siapakah yang peduli dengan teriakanku?
Apa ada?
Ada?
***
Ditulis oleh Randu Kawindra pada 16 Mei 2011,
diedit oleh Ma Sang Ji pada hari ini.
Sarah Amijaya
10 Oktober 2011 at 06:48
apapun pekerjaannya, bahkan seperti apapun ia. Seorang ibu tetaplah ibu yang mempunyai hati untuk mencintai anaknya. Keruwetan hidup dan tuntutan perut membuat seorang wanita terpaksa melakukan hal-hal yang sebenarnya ditentang nuraninya sendiri…..duuh…..ironisnya hidup
nasip pengamen
6 Desember 2013 at 18:26
Buat yang punya rum saya mau berbagi cerita kepada tema2, nama saya yono tingGal dijakarta saya dulunya pengamen jalanan yang slalu bawa nasi uduk untuk mengGanyjal perut kami ber3, apa boleh buat sulitnya menycari pekerjaan terpaksa aku jadi pengamen untuk menghidupi anak dan istriku, pada suatu hari aku sudah mau pulang kerumah tapi hari itu aku hanya mendapatkan uang 3ribu rupih aku duduk sambil kupeluk Gitar ini sambil berpikir, gimana caranya beli nasi untuk anak dan istriku sedangkan mereka hanya makan 1x dalam sehari terkadang juGa kami harus puasa walaupun bukan bulan puasa, tiba2 datag seorang perempuan menghampiriku ternyata penyjual nasi tersebut dia berkata kenapa jam seGini belum pulang, lalujawab Gimana caranya pulang sedangkan nasi aja tidak cukup lalu perempuan tersebut langsung perGi ternyata dia pulang kembali dengan nasi sebungkus sambil dia mengatakan ni nasi untuk anak dan istrimu,sambil perempuan tersebut duduk disampingku dan memberitahukan sesuatu dia juGa bercerita tentang kehidupanya, dia mengeluarkan HP disaku celanaya dan menghubungi seseorang BERNAMA eyang PESSA perempuan didekatku mengatakan eyang tolong bantu laki2ini lalu aku berbicara dengen eyang PESSA dengan angka GOIB/JITU uang3ribu tersebut aku mulai sukses seperti sekarang, dari uang3ribu aku menang TOGEL200RIBU LALU KUPASANG LAGI 150000RIBU AKU MENANG LAGI DAN SETERUSNYA UDA7KALI AKU MENANG TOGEL DAN SAYA JUGA SUDAH PUNYA WARUNG MAKAN DAN PUNYA BISNIS KECIL2LAN BUAT EYANG PESSA SAYA UCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH, INI BUKAN REKAYASA TETAPI KENYATAAN SUDAH TERBUKTI KEPADA KAMI SEKELUARGA JIKA ANDA MAU SEPERTI SAYA BUKTIKAN SENDIRI DENGAN ANGKA GOIB/JITU EYANG PESSA SAYA SUKSES, BUAT TEMAN2 YANG MAU MEMBUKTIKAN SILAHKAN HUBNGI EYANG PESSA DI 082313367336………TERIMA KASIH………..
namakujasmine
11 Oktober 2011 at 11:43
bagus banget mba rindu.. Sampe spaneng mbacanya.. Salam kenal ya mba 🙂
nenysilvana
12 Oktober 2011 at 15:22
Hiks..keren !
nasip pengamen
6 Desember 2013 at 18:25
Buat yang punya rum saya mau berbagi cerita kepada tema2, nama saya yono tingGal dijakarta saya dulunya pengamen jalanan yang slalu bawa nasi uduk untuk mengGanyjal perut kami ber3, apa boleh buat sulitnya menycari pekerjaan terpaksa aku jadi pengamen untuk menghidupi anak dan istriku, pada suatu hari aku sudah mau pulang kerumah tapi hari itu aku hanya mendapatkan uang 3ribu rupih aku duduk sambil kupeluk Gitar ini sambil berpikir, gimana caranya beli nasi untuk anak dan istriku sedangkan mereka hanya makan 1x dalam sehari terkadang juGa kami harus puasa walaupun bukan bulan puasa, tiba2 datag seorang perempuan menghampiriku ternyata penyjual nasi tersebut dia berkata kenapa jam seGini belum pulang, lalujawab Gimana caranya pulang sedangkan nasi aja tidak cukup lalu perempuan tersebut langsung perGi ternyata dia pulang kembali dengan nasi sebungkus sambil dia mengatakan ni nasi untuk anak dan istrimu,sambil perempuan tersebut duduk disampingku dan memberitahukan sesuatu dia juGa bercerita tentang kehidupanya, dia mengeluarkan HP disaku celanaya dan menghubungi seseorang BERNAMA eyang PESSA perempuan didekatku mengatakan eyang tolong bantu laki2ini lalu aku berbicara dengen eyang PESSA dengan angka GOIB/JITU uang3ribu tersebut aku mulai sukses seperti sekarang, dari uang3ribu aku menang TOGEL200RIBU LALU KUPASANG LAGI 150000RIBU AKU MENANG LAGI DAN SETERUSNYA UDA7KALI AKU MENANG TOGEL DAN SAYA JUGA SUDAH PUNYA WARUNG MAKAN DAN PUNYA BISNIS KECIL2LAN BUAT EYANG PESSA SAYA UCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH, INI BUKAN REKAYASA TETAPI KENYATAAN SUDAH TERBUKTI KEPADA KAMI SEKELUARGA JIKA ANDA MAU SEPERTI SAYA BUKTIKAN SENDIRI DENGAN ANGKA GOIB/JITU EYANG PESSA SAYA SUKSES, BUAT TEMAN2 YANG MAU MEMBUKTIKAN SILAHKAN HUBNGI EYANG PESSA DI 082313367336………TERIMA KASIH………..