RSS

‘Di mana bapakmu?’ Jawab anak itu, ‘Dia mabuk.’

10 Okt

Ya ampun! Masalah kesetaraan gender ternyata memang ada! Semula saya pikir, mungkin ini hanya isu yang ditiup-tiupkan oleh kaum feminis yang kebablasan. Karena sepanjang pengetahuan saya, semua di sekeliling saya berlangsung wajar-wajar saja. Semua sudah pada porsinya. Di luar KDRT, perempuan sekarang sudah lebih mampu bersaing di sektor publik.

Namun suatu ketika, seorang kawan menceritakan keadaan di tempatnya bekerja, di suatu daerah:

Tahu tidak, orang tua di sini menikahkan anak-anak perempuan mereka tanpa peduli apakah laki-lakinya itu pemabuk atau penjudi. Yang penting menikah dulu. Urusan bagaimana hidup anak-anak mereka setelah menikah, itu urusan nanti. Bisa dibayangkan anak-anak yang lahir dari ayah yang pemabuk, atau dari ayah yang penjudi, atau dari ayah yang kerjanya mesti merantau ke pulau lain karena cuma tamatan SD atau SMP.

Mendapatkan kisah ini, baru saya benar-benar percaya bahwa diskriminasi masih ada di belahan bumi pertiwi ini. Diskriminasi masih nyata, bukan sekedar isu! Bahkan kawan saya menceritakan kejadian-kejadian di sekitarnya:

Untuk hidup sehari-hari, ibu-ibu dari anak-anak ini biasanya berjualan di pasar. Anak-anak ditinggal dengan nenek atau kakek mereka.

Saya pernah bertanya kepada seorang anak usia tiga tahun, “Di mana bapakmu?” Anak itu menjawab, “Dia mabuk.”

Miris dengarnya. Lebih miris lagi karena ibu, nenek, dan kakeknya tidak bereaksi apa-apa, seakan sekelompok laki-laki yang berkumpul di belakang rumah sambil mabuk-mabukan itu adalah hal biasa.

Dan yang lebih membuat saya makin prihatin lagi adalah beberapa hari yang lalu. Saya baru tahu ternyata perempuan di sini lebih memilih tetap bertahan dalam pernikahan walaupun suaminya selingkuh dengan perempuan lain. Padahal suaminya itu tidak bekerja. Untuk hidup sehari-hari dia jualan di pasar.

Alasan suaminya selingkuh, karena perempuan selingkuhannya ini sering memberi dia uang. Aduh, saya geram sekali sama si suami. Lebih geram lagi sama si istri yang dengan bodohnya tahu suaminya selingkuh, tapi tetap bertahan dengan suami tidak bergunanya itu.

Ya ampun! Di abad global dengan segala macam kemutakhirannya ini, ternyata masih ada kisah-kisah miris seperti itu?

ditulis oleh Mugniar Marakarma, diedit oleh Ma Sang Ji

 
6 Komentar

Ditulis oleh pada 10 Oktober 2011 inci Aktual, Kebangsaan, Tradisi & Budaya

 

Tag:

6 responses to “‘Di mana bapakmu?’ Jawab anak itu, ‘Dia mabuk.’

  1. aridhaprassetya

    10 Oktober 2011 at 07:29

    “Di mana bapakmu?” Anak itu menjawab, “Dia mabuk.”

    Anak kecil itu memberi satu pelajaran besar bagi saya. Betapa apa yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai masalah besar (miris, jahat, prihatin, buruk, jelek, nista, gelap, tak punya masa depan dll), tetapi baginya tidak. Ia datar-datar saja dan tidak panik.

    salam bahagia dan terus berkarya

     
    • mugniar

      10 Oktober 2011 at 08:46

      Miris … hal yang tidak benar rupanya sudah jd budaya di sana karena orang2 di situ berlaku biasa saja dengan keadaan itu 😦

      Sudut pandang berbeda. Mereka menganggapnya biasa saja sementara kita sudah setengah mati miris mendengarnya.

      Makasih mbak Aridha atas kunjungannya 🙂

       
    • Ma Sang Ji

      10 Oktober 2011 at 08:59

      Menurut saya, perbedaan sikap itu terjadi lantaran perbedaan perspektif. Sesuatu yang dianggap masalah besar bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain. Begitu pula sebaliknya.

       
  2. mugniar

    10 Oktober 2011 at 10:16

    Betul mbak Ma … saya baru saja menambahkannya.
    Sistem tata nilai kita berbeda. Meski kadang-kadang ada persamaan ideologi (agama misalnya) tapi ada hal-hal lain yang sudah membudaya di sana yang membuat sudut pandang itu berbeda. Padahal misalnya kita melihatnya dari cara pandang agama kita yang sama.

    Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa akhirnya yang terganggu kesejahteraan di sana adalah perempuan dan anak-anak. Mereka tidak mengeluh karena seperti itulah keseharian mereka. Nilai ‘nrimo’ sudah sedemikian kentalnya dalam diri mereka.

     
  3. Siti Swandari

    10 Oktober 2011 at 15:15

    Ya, bagaimana lagi ?, mungkin nanti yang merubahnya adalah generasi mendatang yang makin sadar, makin pintar dan care terhadap nasip anak bangsa ini.

     
    • Mugniar

      11 Oktober 2011 at 19:42

      Amin .. mudah2an ada jalannya

       

Tinggalkan Balasan ke Ma Sang Ji Batalkan balasan